Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, menyatakan bahwa rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 disebabkan oleh berbagai faktor, bukan hanya karena jadwal yang berdekatan dengan pemilu dan pilpres. Menurutnya, isu rendahnya partisipasi politik dalam Pilkada 2024 perlu diperhatikan secara menyeluruh. Peningkatan partisipasi harus dipandang sebagai upaya yang melibatkan berbagai dimensi, termasuk reformasi jadwal, peningkatan kualitas calon, serta penguatan kepercayaan masyarakat terhadap politik secara umum. "Revisi terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada bisa menjadi salah satu alternatif untuk memisahkan jadwal pelaksanaan, namun tidak seharusnya menjadi satu-satunya solusi," ungkap Annisa kepada ANTARA di Jakarta, pada hari Selasa. Ia menjelaskan bahwa perubahan regulasi tersebut bersifat struktural dan administratif, sedangkan akar permasalahan partisipasi juga terkait dengan dinamika sosial-politik, seperti kejenuhan politik di kalangan masyarakat. Lebih lanjut, ia menekankan bahwa rendahnya partisipasi tidak hanya berkaitan dengan jadwal, tetapi juga disebabkan oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap proses dan hasil politik yang dianggap tidak memberikan perubahan yang berarti. Annisa juga menambahkan bahwa jeda antara pemilu dan pilkada dapat membantu mengurangi kejenuhan politik, tetapi tidak menjamin hilangnya rasa "bosan" masyarakat terhadap isu-isu politik. Ia menegaskan bahwa kebosanan tersebut sering kali dipengaruhi oleh kekecewaan terhadap kualitas calon, kurangnya transparansi, dan lemahnya keterlibatan politik yang bermakna, sehingga masyarakat merasa tidak mendapatkan manfaat positif dari pelaksanaan 'pesta' demokrasi tersebut. "Keberadaan calon tunggal di 37 daerah mencerminkan bahwa keterlibatan partai politik dalam proses pencalonan sering kali hanya bersifat simbolis, sehingga tidak menawarkan alternatif yang menarik bagi pemilih," ungkap peneliti tersebut. Dia juga menambahkan bahwa tanpa adanya perbaikan yang signifikan dalam kualitas politik, sekadar menunggu waktu mungkin tidak akan cukup efektif untuk meningkatkan partisipasi pemilih di masa mendatang.