Pakar ilmu politik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Ardli Johan Kusuma, berpendapat bahwa penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dapat mendorong peningkatan partisipasi politik di kalangan masyarakat. “Dengan adanya kesempatan bagi individu yang memiliki kapabilitas, mereka akan dapat berpartisipasi dalam kompetisi untuk posisi presiden dan wakil presiden. Ini berarti memberikan kesempatan yang setara bagi semua orang,” ungkap Ardli saat dihubungi ANTARA dari Jakarta pada hari Senin. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa penghapusan ambang batas tersebut dapat mengembalikan harapan untuk mewujudkan demokrasi yang sejati. “Karena pencalonan presiden dan wakil presiden tidak akan lagi dikuasai oleh partai-partai besar yang sering kali menerapkan politik transaksional, yang membuat demokrasi hanya berjalan secara prosedural tanpa makna yang mendalam,” jelasnya. Namun, ia juga mengingatkan bahwa penghapusan ambang batas pencalonan dapat menimbulkan tantangan, seperti kemungkinan terjadinya konflik antarpartai politik dan fragmentasi masyarakat yang terpecah dalam banyak kandidat. “Oleh karena itu, diperlukan peningkatan kesadaran dan pengetahuan politik, baik dari kalangan elite dan politisi maupun masyarakat secara umum,” tuturnya. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengambil keputusan untuk menghapus ketentuan presidential threshold yang terdapat dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 mengenai Pemilihan Umum. Keputusan ini diambil pada tanggal 2 Januari dan dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penghapusan tersebut tercantum dalam Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024. MK berpendapat bahwa ketentuan presidential threshold yang tercantum dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 mengakibatkan hilangnya hak konstitusional bagi partai politik yang tidak mencapai persentase suara sah secara nasional atau jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Lebih lanjut, MK mengamati bahwa dinamika politik di Indonesia cenderung mengarah pada partisipasi hanya dua pasangan calon dalam setiap pemilu presiden dan wakil presiden. MK menilai situasi ini dapat menyebabkan masyarakat terjebak dalam polarisasi yang berpotensi mengancam persatuan Indonesia jika tidak ditangani dengan baik. Oleh karena itu, MK menegaskan bahwa ketentuan presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar prinsip moral, rasionalitas, dan menciptakan ketidakadilan yang tidak dapat diterima.